Senin, 22 Juni 2015

WHAT HAPPENED AT KEMENKEU, KOMPLEKS GEDUNG LAMA


Macam-macam hal yang menggugah rasa kemanusiaan gue semenjak masuk ke kantor ini (DJKN, Kementerian Keuangan). Belum lama gue nulis (nggak di publish sih) tentang pedagang asinan yang ‘jemput bola’ menawarkan dagangannya satu per satu ke setiap (I repeat, SETIAP) orang yang ada di kantor, setiap lantai, setiap direktorat, setiap subdit, yang pastinya harus menelan bulat-bulat rasa malu dan segannya (we know being a salesperson sucks). Sekarang gue ketemu dengan seorang nenek penjual ‘printilan’ (peniti, kunciran, masker, korek kuping) semacam abang kang jepitan gitu lah tapi si nenek ga punya outlet alias gerobak atau semacamnya untuk menjajakan dagangannya. Alih-alih beliau akhirnya duduk di atas trotoar, dagangannya berada dalam kresek hitam besar, di depan kompleks gedung kantor gue di seberang lapangan banteng.

Sebetulnya hari ini bukan pertama kalinya gue lihat nenek ini. Tapi ini pertama kalinya gue mencoba beli, berhubung bulan ramadhan, berhubung memang lagi butuh jarum pentul, berhubung uangnya ada, banyak hal lah.

Sayangnya, nenek itu nggak punya jarum pentul, adanya peniti emas yang kecil-kecil itu. Boljug (boleh juga) lah ya, dan pas gue tanya: Berapa nek (sebungkus kecil)?

Dia bilang: 500 aja, neng.

Gue langsung shock. Itu di abang-abang 2000an sih. Anyway, pas gue cek ternyata gue cuma punya uang kecil 4000 perak T.T Merasa harganya kemurahan, jadilah dengan 4000 itu gue cuma ngambil 2 bungkus, gue hargain kayak di abang-abang. Si nenek nawarin ambil lagi karena uangnya kebanyakan, tapi gue nggak mau. Tapi sebelum gue berhasil kabur, si nenek malah langsung ngambilin tisu bungkus kecil, sebungkus hansaplast, segenggem lagi peniti yang sama, dan dijejelin ke plastik bekas bungkus tisu buat dikasih ke gue dan bilang: ini neng, biar dagangan nenek cepet habis, maaf ya nenek nggak punya kresek........

Ya ampun padahal yang gue kasih cuma 4000 perak....... T.T

Begitu sampai kantor, masih sambil berkaca-kaca akhirnya gue ngiter subdit nyariin temen sekelompok magang gue buat bagi-bagi pentul sama hansaplast yang dikasih si nenek. Supaya amalan si nenek makin gede, karena ga cuma buat gue aja. lagipula gue ngerasa nggak berhak dapet sebanyak itu (inget si 4000 perak T.T).

Besoknya, pas ada uang lebih lagi, gue beli ke nenek lagi, kali ini gue ikhlasin buat si nenek. Sekalian, hati gue juga jadi legaan dikit, karena nggak ngerasa 'hutang' sama si nenek. Disitu juga gue mulai liat kalo ternyata banyak juga orang-orang kantor yang setiap beli, ngelebihin ke nenek. mungkin itu sebabnya nenek juga nggak pernah pelit sama pembelinya. Atau malah mungkin sebaliknya? Kami, orang-orang kantoran, abdi negara yang perlente ini, malah diajarkan untuk terus dermawan oleh si nenek?

:"